Minggu lalu, akhirnya ada beberapa hal penting terkait pertumbuhan ekonomi Indonesia. Meski pasar keuangan tampak tidak ada guncangan yang serius, penting bagi investor memperhatikan kondisi ekonomi riil domestik, juga hal-hal lain dari sisi global yang berpengaruh pada pertumbuhan pasar.
Optimisme Vaksin di Amerika Serikat
Penambahan kasus di Amerika semakin hari semakin tinggi, namun Presiden AS, Donald Trump percaya bahwa keadaan COVID-19 bisa ditangani. Beliau mendukung agar sekolah dibuka kembali karena anak-anak lebih tahan terhadap penularan. Beberapa ahli kesehatan tetap berpendapat bahwa tidak mudah menanganinya, karena COVID-19 adalah virus dengan potensi penyebaran yang sangat tinggi.
Di saat yang sama, Amerika akan membayar 2,1 Milyar Dollar untuk pengadaan vaksin kepada perusahaan Sonofi & GlaxoSmithKline. Rencananya, vaksin cukup untuk 50 juta warga AS dan ditargetkan siap pada akhir 2020.
Berkaitan dengan vaksin, perusahaan keuangan global, Goldman Sachs Group memperingatkan, adanya persetujuan penggunaan vaksin dapat membalik arah pasar. Artinya, investor berpotensi memindahkan uang dari instrumen yang aman seperti obligasi untuk masuk ke instrumen lebih berisiko seperti pasar saham. Bila ini terjadi, maka efeknya bukan hanya pada pasar di negara maju, namun juga pasar negara berkembang seperti Indonesia.
Ketidakpastian Hubungan 2 Ekonomi Terbesar
Hubungan kedua negara besar yaitu Amerika dan Cina kembali memburuk beberapa pekan lalu setelah AS memerintahkan Cina untuk menutup konsulatnya di Houston. Hal ini ditanggapi balik oleh Cina dengan menutup konsulat AS di kota Chengdu.
Namun, Kementerian Luar Negeri Cina mengatakan bahwa Cina sama sekali tidak menginginkan adanya perang dingin baru karena akan merusak ekonomi global. Memang, tidak dapat dipungkiri kalau Cina adalah pasar ekspor terbesar ke-3 dan sumber impor bahan baku terbesar bagi Amerika Serikat.
Cina memandang bahwa hubungan buruk ini lebih disebabkan dari bias-nya pandangan pemerintah Amerika terhadap Cina. Artinya, bila Amerika memiliki pemerintahan yang baru pasca pemilu di akhir tahun ini, bisa saja hubungan kedua negara diperbaiki kembali. Membaiknya hubungan 2 negara tentu berdampak positif pada pemulihan ekonomi global pasca COVID-19.
Kontraksi Ekonomi Indonesia
Minggu lalu, ekonomi Indonesia terkontraksi sebesar 5,32%. Lebih mengkhawatirkan lagi, inflasi Indonesia juga turun dari 1,96% pada Juni menjadi 1,54% pada Juli. Turunnya inflasi mengindikasikan perlambatan ekonomi. Bila dibiarkan maka mungkin ekonomi Indonesia terkontraksi kembali pada akhir kuartal 3 nanti.
Hal serupa terlihat pada kabar penurunan kinerja perusahaan publik. Salah satunya dari perusahaan yang tercatat pada indeks LQ-45. Dari 31 emiten LQ-45 yang sudah rilis laporan keuangan, hanya 7 emiten saham yang mencatatkan kenaikan pendapatan dan keuntungan. Penurunan ini sudah masuk dalam ekspektasi pasar. Namun, bila pemulihan berjalan terlambat kedepannya, maka hal ini bisa menekan harga pasar.
Kabar baik menurut OJK, ada perbaikan dalam penyaluran kredit yang tumbuh dari 1,49% pada Juni menjadi 2,27% pada Juli. Maka, OJK merevisi pertumbuhan kredit di tahun ini, bisa mencapai 3-4%. Tentu, kenaikan kredit bisa membantu dunia usaha bertahan menghadapi perlambatan ekonomi.
Dari beberapa isu di atas, kita bisa lihat ada ketidakpastian yang disertai harapan. Tentunya pemulihan sangat mungkin terjadi, namun waktunya tidak bisa ditebak. Maka, investor tetap boleh berinvestasi asalkan bisa meminimalisir risiko, serta menyesuaikan profil risiko masing-masing.