Dalam 1 minggu terakhir Indeks Harga Saham Gabungan Kembali melanjutkan penurunannya hingga di tutup di level 5862,35 . Sebagai bagian dari pasar global, maka untuk melihat bagaimana IHSG kedepannya, kita perlu memperhatikan kondisi pasar global pula. Melihat pasar global yang terus naik sejak tahun lalu, ada kekhawatiran bahwa kenaikan ini sudah terbatas. Apa saja yang menandakan hal tersebut akan dibahas di newsletter kali ini.
Kekhawatiran Kenaikan Pasar Global
Pasar global di Amerika yang terus menanjak sejak tahun lalu membuat para investor bahagia, namun kenaikan yang terlalu tinggi bisa menjadi resiko besar juga. Berdasarkan Bloomberg, saat ini kenaikan pasar menyentuh titik yang sudah lebih tinggi dari dot-com bubble di tahun 2000.
Salah satu hal yang menyebabkan kenaikan begitu tinggi tidak lain adalah pelonggaran moneter dari bank sentral. Pelonggaran ini membuat likuiditas di pasar naik sehingga menaikan harga aset – aset seperti saham.
Kenaikan yang berlebihan ini perlu diwaspadai apabila ekspektasi pasar tidak sesuai kenyataan. Keuntungan perusahaan yang lebih rendah, atau perkembangan vaksin yang melambat, berpotensi membuat investor menarik dananya dari pasar.
Bank Sentral Tiongkok Menarik Likuiditas
Bukan hanya terjadi di Amerika saja, kenaikan pasar yang tinggi juga ada di Tiongkok, mengingat negara tersebut pulih lebih awal dari pandemi Covid-19. Hal ini membuat Bank sentral Cina menarik likuiditas sebesar 12 Miliar Dollar untuk mencegah kenaikan harga aset yang berlebihan.
Sebagai gambaran, data menunjukan bahwa Investor di negeri tiongkok sudah membeli saham di Bursa Hong Kong hingga 259 miliar dollar hongkong atau mencapai 40% dari total pembelian tahun lalu. Ini menunjukan antusiasme yang sangat tinggi.
Meski ekonomi Tiongkok mulai pulih, namun eksportir di negara itu masih mengalami kesulitan dari adanya penguatan mata uang Yuan yang membuat harga jual barang lebih mahal hingga ongkos pengiriman yang meningkat. Ekspor yang sulit juga berpotensi menekan ekonomi negara tersebut.
Bencana Alam Menambah Beban Pemulihan
Bukan hanya pandemi Covid-19 yang menjadi beban, namun saat ini bencana alam juga melanda beberapa wilayah Indonesia. Akibatnya, pemerintah Indonesia harus menanggung beban anggaran yang lebih besar ditengah rencana pemulihan ekonomi nasional.
Diperkirakan bahwa defisit anggaran Indonesia harus meningkat menjadi 6,09% di tahun 2021 dari 3% di tahun lalu. Ini sejalan dengan rencana pemerintah yang akan menaikan dana Pemulihan Ekonomi Nasional dari 403,9 triliun menjadi 553 triliun.
Defisit pemerintah yang terus membengkak ini berpotensi membuat investor asing menjadi ragu terhadap pasar Indonesia. Namun, apabila penanganan bencana dan Covid menunjukan hasil, maka ini bisa jadi sentimen positif.