Pada minggu lalu, IHSG bergerak di rentang harga 4800 hingga 5000. Setelah beberapa pekan naik terus, minggu lalu pasar belum bisa sampai di atas 5000. Melemahnya penguatan ini bisa disebabkan dari kekhawatiran investor akibat kasus corona yang masih menanjak tajam. Dalam sepekan terakhir, kasus Covid-19 di Indonesia bertambah 7000 orang lebih, disamping sudah dimulainya relaksasi PSBB. Ada beberapa informasi penting yang berkaitan dengan perkembangan pasar sampai sekarang.
Proyeksi Perekonomian dari IMF
IMF memprediksikan bahwa perekonomian global akan berkontraksi sebesar -4.9% pada tahun 2020. Angka ini sudah direvisi dari -3% yang sempat diproyeksikan pada April. Proyeksi pertumbuhan pada 2021 juga sudah diturunkan dari 5.8% ke 5.4% saat ini. Ini berarti efek dari Global Lockdown lebih buruk dari yang diperkirakan, sehingga pemulihan juga lebih lambat.
Indonesia sendiri diproyeksikan terkontraksi sebesar -0.3% pada tahun 2020 ini, dan tumbuh 6.1% pada 2021. Berita baiknya adalah Indonesia masuk ke daftar 10 negara dengan pemulihan tercepat dari Covid-19 versi IMF. Meski pemulihan membutuhkan waktu, proyeksi ini memberikan sedikit harapan buat para pelaku pasar.
Menteri Keuangan Membantu Likuiditas Perbankan
Perekonomian yang terhambat juga membuat banyak bisnis kesulitan dalam memenuhi kewajiban mereka, salah satunya pembayaran utang. Itu kenapa sampai saat ini sudah ada Rp 655,84 triliun kredit yang direstrukturisasi oleh perbankan di Indonesia (per 15 Juni 2020). Restrukturisasi artinya Bank memberikan kelonggaran dalam pembayaran utang kepada debitur yang mengalami kesulitan pembayaran.
Namun, efek samping dari restrukturisasi adalah perbankan berpotensi kesulitan likuiditas, alias bank tidak punya uang untuk menunaikan kewajibannya. Maka itu, pemerintah ikut turun tangan untuk membantu likuiditas bank – bank BUMN besar. Baru baru ini, Menteri keuangan menempatkan 30 Triliun rupiah ke 4 bank BUMN (BRI, Mandiri, BTN, BNI).
Tujuan dana tersebut adalah agar bank tetap mampu menyalurkan kredit ke sektor riil, meski disaat yang sama harus melakukan restrukturisasi. Bila kredit berjalan, harapannya ekonomi tetap bisa terdorong.
Adanya Penguatan Rupiah
Meski masih dalam pemulihan ekonomi, nilai tukar Rupiah ternyata sempat menguat cukup besar dibandingkan bulan – bulan awal terjadinya Covid-19. USD/IDR sudah menguat dari kisaran 16,000 saat bulan Maret lalu menjadi kisaran 14,000 saat ini. Apa sih penyebabnya?
Hal ini tidak terlepas dari adanya surplus neraca perdagangan Indonesia sebesar US$ 2,09 miliar di bulan Mei kemarin. Penguatan rupiah ini juga didukung dari imbal hasil surat utang Indonesia yang jauh lebih menarik daripada imbal hasil surat utang pemerintah Amerika (US treasury). Akibatnya, investor lebih tertarik untuk masuk ke surat utang Indonesia. Ini terlihat pada grafik yang menunjukkan aliran dana asing ke pasar obligasi Indonesia yang mulai meningkat beberapa bulan ini.
Jadi, perekonomian memang belum sekuat sebelum ada Covid-19. Namun dengan adanya dukungan stimulus dari pemerintah dan kondisi pasar Indonesia yang menawarkan peluang menarik bagi investor asing, ini bisa meredam gejolak ekonomi yang mungkin terjadi sebelum pemulihan terjadi sepenuhnya.