Minggu lalu, beberapa negara maju di Eropa dan Amerika Serikat merilis data pertumbuhan ekonomi, dan hasilnya menunjukan adanya resesi global. Hal ini terlepas dari bursa saham global seperti S&P 500 yang bertahan dalam tren kenaikan saat ini. Kondisi yang tidak sejalan antara pasar dan ekonomi riil ini penting dicermati oleh investor dalam mengambil keputusan investasi kedepannya.
Resesi pada Perekonomian Terbesar di Dunia
Pada minggu lalu, Amerika Serikat baru saja merilis data pertumbuhan ekonomi kuartal 2 nya, dan hasilnya menunjukan hal yang kurang menyenangkan.
GDP Amerika Serikat turun 32.9% pada kuartal 2 tahun 2020. Penurunan ini terjadi setelah penurunan 5% di kuartal 1. Sehingga Amerika sudah dikategorikan dalam kondisi resesi. Resesi ini mengkhawatirkan untuk seluruh dunia, mengingat Amerika adalah negara dengan nilai perekonomian terbesar.
Saat ini, belum ada perbaikan yang signifikan. Angka klaim pengangguran di AS menaik kembali di atas 1 juta. Naiknya pengangguran menunjukan kalau kegiatan bisnis di Amerika masih sulit untuk pulih.
Disaat yang sama, pemerintah Amerika masih memutuskan soal kelangsungan bantuan sosial untuk warganya, yang kemungkinan akan dipotong jumlahnya. Dengan naiknya pengangguran dan bantuan yang dipotong, dikhawatirkan akan semakin memperburuk kondisi ekonomi Amerika, dan bisa mengefek secara global
Harapan Pemulihan di Benua Asia
Meskipun Amerika dan berbagai negara lain di Eropa serta Asia, sudah masuk ke tahap resesi, jangan lupa masih ada negara Cina yang merupakan kekuatan ekonomi di Asia.
Meski terkena wabah Covid-19 lebih awal, saat ini Cina sudah cukup berhasil dalam menekan kenaikan jumlah kasus. Berdasarkan data dari worldometer.com, total kasus Covid-19 di Cina berkisar di angka 84 ribu. Penambahan kasusnya kurang dari 1000 orang saja sejak akhir bulan Maret lalu.
Penurunan jumlah kasus infeksi membuat pemerintah Cina mulai membuka kembali ekonominya. Pemulihan pun terlihat dari data PMI Manufaktur (Purchasing Manager Index) di Cina yang sudah ada di angka 51.1 di bulan Juli. Angka di atas 50 menunjukan adanya ekspansi.
Banyak ekonom juga memprediksikan ekonomi Cina tetap bisa tumbuh 2% di tahun 2020, meski pandemi di dunia belum berakhir. Hal ini menjadi berita positif khususnya bagi negara dengan hubungan ekonomi yang besar dengan Cina, seperti Indonesia.
Pemulihan Indonesia Bergantung Pada Stimulus Pemerintah
Sebagai negara berkembang, Indonesia bisa saja mengalami pemulihan yang sama dengan Cina, asalkan pemerintah mampu untuk menjalankan kebijakan dengan tepat waktu.
Pemerintah Indonesia sudah menyiapkan stimulus sebesar Rp 695 Triliun untuk menopang perekonomian domestik. Namun sayang, saat ini penyerapannya baru 19% saja. Keterlambatan penyerapan ini bisa membuat pemulihan ekonomi semakin lama.
Bank Indonesia sendiri sempat memperkirakan kalau kontraksi perekonomian Indonesia bisa mencapai 4% di kuartal 2. Pertanyaannya, seberapa besar di kuartal 3 nanti? Mungkin saja masih terkontraksi, tetapi bila penyerapan stimulus berhasil dipercepat maka bisa memperkecil angka kontraksinya.
Hal lain yang bisa mendukung pemulihan adalah relokasi pabrik dari Cina ke Indonesia. Menurut, presiden Jokowi ada potensi sebesar 119 perusahaan yang bisa merelokasi pabriknya, dan saat ini sudah ada 7 yang pasti. Adanya pabrik bisa membuka lapangan pekerjaan baru dan mendukung konsumsi masyarakat yang mendorong perekonomian.
Dari perkembangan di atas, masih ada harapan pemulihan seperti yang ditunjukan oleh Cina, khususnya untuk negara berkembang seperti Indonesia. Apalagi, suku bunga Bank Indonesia yang belum lama diturunkan ke 4% lagi membuat investor asing tertarik menanamkan uangnya ke pasar obligasi Indonesia. Ini kenapa Obligasi berpotensi menghasilkan return yang optimum di tengah tren penurunan suku bunga saat ini. Bila ingin memanfaatkan kesempatan ini juga, kamu bisa mulai melirik reksadana obligasi saat ini.