Apakah Fenomena “Sell in May and Go Away” Berlaku di Indonesia?

Ada banyak fenomena dalam dunia investasi, salah satunya adalah “Sell in May and Go Away”. Ini adalah fenomena yang berasal dari bursa saham Amerika Serikat (AS) ketika investor memiliki kecenderungan untuk menjual saham di awal Mei. Lalu, investor cenderung membeli kembali pada awal November. 

Fenomena ini mencuat karena kepercayaan bahwa secara historis performa saham pada periode Mei-Oktober lebih rendah dibandingkan November sampai April. Lantas, apakah fenomena ini juga terjadi di Indonesia? Yuk, kita cek untuk dapat jawabannya!

Saham: Indeks Harga Saham Gabungan

Berdasarkan data sejak 2014, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencatatkan 3 kali penurunan nilai dalam rentang waktu Mei hingga Oktober. Nggak hanya penurunan, pada periode tersebut juga terjadi 6 kali kenaikan nilai.

Di sisi lain, pada November sampai April, IHSG juga sama mencatatkan 3 kali penurunan nilai dan 6 kali peningkatan nilai. Berdasarkan data tersebut, bisa disimpulkan jika di Indonesia, tidak ada perbedaan secara historis performa saham pada periode Mei-Oktober lebih rendah dibandingkan November-April.

Supaya lebih jelas, berikut ringkasan data historis IHSG untuk Mei-Oktober dan November-April:

Obligasi: Total Return Index

Sementara itu, jika mengacu pada obligasi pemerintah Indonesia, hal serupa juga akan terlihat pada instrumen investasi obligasi. Penjelasannya adalah sebagai berikut. Sejak 2014, obligasi mencatatkan 2 kali imbal hasil negatif dan 7 kali imbal hasil positif periode waktu Mei-Oktober.

Begitupun selanjutnya jika melihat pada periode November sampai dengan April, obligasi juga mencatatkan 2 kali imbal hasil negatif dan 7 kali imbal hasil positif. Artinya bahwa di Indonesia, tidak bisa dikatakan bahwa performa obligasi pada periode Mei sampai Oktober lebih rendah dibandingkan November sampai April.

Berikut ringkasan data historis obligasi negara Indonesia (IBPA total return) untuk Mei - Oktober dan November-April:

Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan di atas, bisa disimpulkan bahwa di Indonesia tidak ada perbedaan secara historis bahwa performa atau imbal hasil investasi saham dan obligasi periode Mei-Oktober lebih rendah dibandingkan November-April. 

Sehingga, investor bisa tetap fokus memperhatikan hal lain yang dapat mempengaruhi investasinya. Misalnya seperti kondisi makro ekonomi, preferensi profil risiko dan tujuan keuangan masing-masing investor.

Sementara, kondisi yang bisa dipertimbangkan oleh investor saat ini adalah inflasi yang mulai melandai dan suku bunga The Fed yang diproyeksi sudah mencapai puncaknya. Sehingga investor bisa mempertimbangkan untuk berinvestasi di Obligasi FR, Reksa Dana Obligasi, ataupun SBN Ritel. 

Di bawah ini adalah beberapa contoh produk Reksa Dana Obligasi di Bibit yang bisa dipilih:

Writer: Tim Edukasi

Disclaimer: Konten dibuat untuk tujuan edukasi dan bukan merupakan rekomendasi untuk membeli/menjual reksa dana/produk tertentu.