Risiko dan imbal hasil (return) menjadi hal yang wajib dipertimbangkan ketika berinvestasi. Saat memutuskan untuk mengambil risiko yang lebih tinggi, investor akan cenderung mengharapkan imbal hasil yang lebih tinggi lagi (risk premium). Pola pikir tersebut digambarkan dalam ilustrasi di bawah ini:
Apa yang bisa kita pelajari?
RF alias Risk Free artinya kondisi ketika tidak ada risiko dalam sebuah investasi. Sedangkan garis hijau yang terus naik menggambarkan bahwa ketika sebuah investasi makin berisiko, maka ekspektasi imbal hasil atau expected return (ER) semakin meningkat. Ingat, kata kunci di sini adalah ekspektasi.
Jika expected return semakin melambung tinggi dan melebihi titik RF, maka disebut risk premium alias excess expected return. Ini artinya investor berekspektasi dapat imbal hasil lebih tinggi sebagai bentuk ‘kompensasi’ atas keputusannya memilih aset dengan risiko tinggi dibandingkan investasi minim atau bebas risiko.
Dengan kata lain, saat investor berinvestasi pada aset yang lebih tinggi risiko seperti saham atau Reksa Dana Saham, biasanya investor mengharapkan imbal hasil (expected return) yang lebih tinggi juga. Hal ini sebagai kompensasi karena telah memilih instrumen investasi yang berisiko tinggi.
Sebagai contoh, saat kamu memutuskan berinvestasi di instrumen yang rendah risiko seperti Reksa Dana Pasar Uang, maka ekspektasi imbal hasil yang kamu harapkan ada di kisaran 3% per tahun. Tapi akan berbeda jika Anda memilih investasi pada instrumen yang tinggi risiko seperti Reksa Dana Saham. Ekspektasi imbal hasil jadi lebih tinggi dari 3% sebagai kompensasi atas risiko yang lebih tinggi tersebut.
High Risk High Return, Mitos atau Fakta?
Prinsip high risk high return sayangnya belum dipahami seutuhnya oleh investor sehingga tak jarang investor dengan profil risiko agresif pun hanya siap menerima imbal hasil tinggi tanpa memperhitungkan potensi risiko.
Padahal prinsip yang ideal yakni high risk, high expected return. Apakah ekspektasi ini selalu terealisasi? Belum tentu!
Nyatanya, risk premium dari investasi yang berisiko tinggi (contoh: saham) tidak selalu memberikan potensi imbal hasil yang jauh lebih tinggi dibanding investasi yang berisiko rendah (contoh: obligasi atau instrumen pasar uang).
Sebagai gambaran, lihat perbandingan data historis mengenai return dari tiga jenis instrumen investasi di bawah ini!
Dari data di atas, terlihat bahwa imbal hasil setiap instrumen investasi cenderung naik. Rata-rata deposito per 3 bulan misalnya, untuk jangka waktu 1 sampai 10 tahun konsisten naik meski tipis. Deposito cocok untuk investor dengan profil risiko konservatif yang menginginkan stabilitas nilai aset dan kerugian sangat minim.
Sementara itu, jika melihat data indeks komposit obligasi untuk jangka waktu 1 sampai 10 tahun juga konsisten meningkat . Bahkan, imbal hasil untuk 10 tahun naik hingga 8,77%. Tingkat risiko aset obligasi relatif cocok untuk investor dengan profil risiko moderat.
Di sisi lain, jika menilik imbal hasil pada investasi saham, performa IHSG cenderung kurang atraktif khususnya pada 5 tahun terakhir. Berdasarkan data IHSG 10 tahunan, rerata imbal hasil investasi pada saham langsung hanya berkisar 4,73%. Artinya, apakah prinsip “high risk high return” terbukti benar?
Data pada tabel tersebut dapat menjadi bahan pertimbangan investor untuk mengkaji ulang, apakah mengejar imbal hasil tinggi selalu sebanding dengan risiko investasi yang juga tinggi? Apakah pemilihan aset dengan risiko lebih tinggi hanya didasari pada ekspektasi return yang tinggi tanpa mengimbanginya dengan kesiapan menghadapi risiko?
Maka penting untuk memiliki strategi mitigasi atau mengurangi risiko untuk menjaga dan mengembangkan aset. Ketika hanya berfokus pada imbal hasil (reward) dan mengabaikan risiko, biasanya investasi akan terasa lebih berat, apalagi ketika pasar mengalami koreksi dan kinerja portofolio mengalami kerugian.
Ingat, risiko investasi adalah hal yang pasti. Namun keuntungan imbal hasil merupakan potensi yang berkaitan dengan ekspektasi dan berada di luar kontrol. Jadi, selalu perhitungkan risk to reward saat berinvestasi!
Investasi Tak Selalu Harus Rumit!
Terlalu berfokus pada investasi di aset yang tinggi risiko dan sibuk melakukan analisis mendalam, sering kali investor cenderung mengabaikan investasi yang rendah risiko. Padahal investasi jenis ini biasanya relatif lebih mudah untuk diestimasi baik dari segi risiko penurunan (drawdown) maupun imbal hasilnya. Upaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan analisis juga lebih minim.
Jadi instrumen rendah risiko sebaiknya tidak hanya dipandang dari sudut imbal hasil yang minim saja. Instrumen ini juga bisa dipertimbangkan saat berinvestasi dan bisa membantu menjaga nilai aset Anda karena pergerakannya yang cenderung lebih stabil.
Studi Kasus di Reksa Dana Pasar Uang dan Reksa Dana Obligasi
Berkaca dari kondisi saat ini, Bank Indonesia (BI) sudah menaikkan suku bunga setelah enam bulan berturut-turut dari 3,5% menjadi 5,75%. Hal ini berpotensi meningkatkan imbal hasil investasi, terutama instrumen Reksa Dana Pasar Uang karena alokasi asetnya 100% ditempatkan di instrumen seperti deposito dan obligasi dengan jatuh tempo kurang dari satu tahun.
Rerata suku bunga deposito Bank BUMN dengan tenor 12-24 bulan kini berada di kisaran 3% per tahun. Adanya kebijakan BI yang menaikkan suku bunga acuan tersebut berpotensi mendorong kenaikan bunga deposito nantinya secara bertahap.
Lalu bagaimana dengan performa Reksa Dana Pasar Uang? Berikut ini kinerja beberapa produk Reksa Dana Pasar Uang di aplikasi Bibit.
Di sisi lain, obligasi pemerintah yield 10 tahun (ID10Y) berada di level 7,04% per 9 Maret 2023. Sedangkan yield obligasi pemerintah dengan jatuh tempo 1 tahun tercatat sebesar 6,34%
Bagaimana dengan Reksa Dana Obligasi? Inilah performa beberapa produk Reksa Dana Obligasi yang ada di aplikasi Bibit.
Jika dilihat dalam satu tahun, memang total return Reksa Dana Obligasi hampir menyamai Reksa Dana Pasar Uang. Namun jika ditarik dalam jangka waktu lebih panjang (3-5 tahun), potensi imbal hasil bisa optimal. Anda bisa melihat lagi pada tabel perbandingan potential risk and reward, di mana secara historis IBPA memiliki imbal hasil ~7%.
Kesimpulan
Reksa Dana Pasar Uang mampu ‘menawarkan’ stabilitas imbal hasil dengan risiko yang minim. Sementara Reksa Dana Obligasi juga bisa menjadi opsi yang tak kalah menarik dengan pergerakan yang less volatile dibandingkan instrumen investasi saham.
Stabilitas kinerja investasi bisa menjadi fokus prioritas. Konsistensi dalam investasi juga lebih penting dibandingkan sekadar memacu akselerasi perkembangan aset sesaat.
Jadi pada akhirnya, investor harus memperhatikan adanya faktor risiko saat berinvestasi. Kemampuan tiap investor dalam menghadapi risiko investasi tentunya berbeda-beda. Jadi investor wajib mempertanyakan pada diri masing-masing “Sepadankah mengejar risiko tinggi demi imbal hasil yang juga tinggi?”
Stay wise & happy investing!
Writer: Tim Edukasi
Disclaimer: Konten dibuat untuk tujuan edukasi dan bukan merupakan rekomendasi untuk membeli/menjual reksa dana/produk tertentu.