Investing Mantra: Short Term Pain-Long Term Gain

“Successful investing takes time, discipline and patience” - Warren Buffett

Fluktuasi dan koreksi di pasar memang tidak dapat dihindari dalam perjalanan investasi. Hal ini juga tercermin di pergerakan pasar sepanjang 2022 yang volatil. Meskipun ada aset investasi tertentu masih bisa mencatatkan kinerja positif, salah satunya obligasi Indonesia. Walaupun sepanjang 2022 (YTD) obligasi AS dan Eropa mencatatkan return negatif sebesar -13,6% dan -16,7%, obligasi Indonesia masih berhasil mencetak return positif yakni +3,49%. 

Lantas, bagaimana dengan 2023? Berikut ini adalah Top 5 Frequently Asked Questions (FAQ) yang paling banyak muncul di benak investor sekaligus sebagai tips agar kita tetap menjadi investor yang mawas dan cerdas:

Apakah 2023 memang menjadi momen resesi bagi ekonomi global? Jika ya, bagaimana dengan kondisi Indonesia? 

Pengetatan kebijakan moneter, bantuan fiskal yang dipangkas, berakhirnya era easy money dan low interest rate  menjadi penyebab utama terjadinya penyesuaian atas laju ekonomi di 2023 yang sebelumnya ‘memanas’ sepanjang 2021-2022. Tak hanya itu, tensi global Rusia-Ukraina yang memperparah segi pasokan komoditas menambah beban ekonomi dan membuat inflasi lebih susah untuk melandai secara cepat.  

Hal tersebut dapat mendorong terjadinya perlambatan ekonomi, khususnya di negara maju (advanced countries) layaknya AS, Eropa, hingga Inggris. 

Namun, menilik risiko resesi di Asia (yang dominan negara berkembang), survei Bloomberg per Juli 2022 menunjukkan bahwa ekonomi Asia lebih tangguh daripada negara maju. Risiko resesi Indonesia hanya tercatat sebesar 3%, menempati posisi ke-2 terendah negara Asia yang terancam resesi. 

Selain itu, berbagai manajer investasi memproyeksikan outlook Indonesia di 2023 masih lebih baik dibandingkan dengan kondisi 2022. 

Inflasi Amerika Serikat per November 2022 berada di level 7,1% dan terus melandai sejak mencapai level tertinggi di 9,1% pada Juni 2022. Akankah The Fed memangkas suku bunga acuan? 

Faktor utama melandainya inflasi adalah akibat penurunan harga beberapa pos, misalnya energi, gasoline, kendaraan bekas, hingga makanan dan minuman dan juga biaya angkut (freight). Namun, inflasi masih menjadi musuh utama sehingga The Fed tak serta merta memangkas suku bunga acuan dengan dua alasan utama yakni: 

  • Gubernur Bank AS The Fed Jerome Powell masih menanti perkembangan dari kondisi ketenagakerjaan AS. Walau tingkat partisipasi sudah turun, namun kondisi per November 2022 masih berada di atas 2018. 

  • Target inflasi jangka panjang Powell di level 2%, masih sangat jauh dibandingkan inflasi November 2022 sebesar 7,1%. 

Sumber: The Fed

Hal tersebut membuat Dot Plot FFR per Desember 2022 naik dari 4,6% ke 5,1% (target akhir kenaikan suku bunga lebih tinggi). Keputusan ini sempat direspon negatif oleh investor dan menekan laju indeks global, misalnya DJI (-4,8%) sepanjang Desember  2022. 

Seberapa besar dampak dari pelonggaran kebijakan zero Covid-19 di China terhadap ekonomi global? Adakah potensi outflow dari Indonesia ke China?

Pelonggaran aktivitas China yang akan resmi dilakukan pada 8 Januari 2023 mendatang dapat membawa imbas positif bagi ekonomi global. Terlebih mengingat ukuran ekonomi China terbesar kedua di dunia. Sebagai catatan, pertumbuhan ekonomi China telah turun signifikan dari 8,1% (2021) menjadi 3,9% (3Q22). 

Meskipun demikian, pelonggaran ini tetap menimbulkan risiko yakni melonjaknya kembali angka kasus Covid-19 khususnya dari kalangan lansia akibat rendahnya tingkat vaksinasi (65% vs global 90%). 

Namun sebagai dampak positif lanjutan, terjadi inflow investor global, mulai dari Foreign Direct Investment / FDI (lihat grafik) serta ke pasar saham China sebesar USD 8,5 miliar pada November 2022. Di sisi lain, terjadi outflow sebesar Rp17,9 Triliun di IHSG selama sebulan terakhir (data per 28 Desember).

Sumber: IDX dan KSEI

Kini, porsi transaksi investor asing di Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berkurang dari 31,1% (2020) ke 30,7% (Jan-Nov 2022) dan lebih ditopang oleh investor  domestik (institusi dan ritel) sebesar 69,3% (Jan-Nov 2022), sehingga sulit untuk memastikan seluruh outflow tersebut disebabkan oleh perpindahan flow ke China. 

Apakah strategi “Cash is King” perlu diterapkan di 2023? Dan apakah long-term government bond masih menarik saat ini? 

Apabila memang investasi untuk jangka panjang, akan lebih bijak untuk tidak berfokus pada market timing. Namun untuk investor yang masih ingin rebalancing portofolio dan mengatur alokasi, obligasi Pemerintah jangka panjang masih bisa diperhatikan. Walaupun sudah sempat turun, per Desember 2022, Indonesia bond yield tenor 10 tahun (ID10Y) masih berada di level 6,91% dibandingkan  Januari 2022 (6,3%) dan Desember 2021: 6,6%

Sumber: JP Morgan

Studi dari JP Morgan menunjukkan bahwa sejak 2003 hingga 2022 (bulan November) terdapat 4 kali kejadian di mana imbal hasil dari portofolio 60% (saham) dan 40% (obligasi) lebih rendah daripada imbal hasil kas (misal investasi di USD) yakni pada 2008, 2011, 2015 dan 2022. Namun, setelah itu imbal hasil dari kas selalu tercatat lebih rendah. 

Oleh karena itu, kami memilih untuk mendefinisikan ‘kas’ bukan sebagai strategi menyimpan uang dingin, namun melalui dua cara berikut : 

  • Fokus berinvestasi ke perusahaan dengan kas besar (cash rich) dan loyal serta royal dalam membagikan dividen.

  • Opsi kedua yakni perusahaan yang memiliki kas besar dan rajin melakukan ekspansi sehingga profitabilitas terus bertumbuh dan berdampak positif ke apresiasi sahamnya. 

Sektor apa saja yang layak untuk menjadi pilihan investasi pada 2023?

Tahun 2023 memang memiliki tantangan tersendiri. Anda bisa ‘intip’ pandangan dan strategi dari beberapa Manajer Investasi (MI) dalam artikel berikut  Market Outlook 2023. Semoga insight tersebut bisa menjadi bahan referensi dalam keputusan investasi anda!

Pergerakan Aliran Dana Investor Asing di Saham dan Obligasi

Periode : Oktober - *Desember 2022

-Saham: Aksi jual asing masih terjadi di IHSG mulai dari November hingga *Desember 2022. Tak hanya itu, jika dilihat dari rata-rata nilai transaksi harian, terjadi penurunan dari Rp13,01T (November 2022) menjadi Rp10,5T (pekan III-Desember 2022)  

Bahkan saham bluechip (kapitalisasi besar) terkoreksi lebih dalam yang tercermin pada indeks LQ45 (-7,4%MoM) dan IDX30 (-7,75%MoM). Tak hanya itu, saham berkapitalisasi kecil (IDX-SMC) juga tertekan -4,84%MoM. Hal ini membuat performa Reksa Dana Saham turut tertekan. 

-Obligasi: Sebaliknya, aksi beli asing terhadap obligasi Pemerintah masih berlanjut mulai November hingga Desember 2022 dengan nilai Rp46,4T.  Di sisi lain, imbal hasil obligasi tenor 10 tahun (ID10Y) masih melemah dari dari 7,6% (26 Oktober 2022)  menjadi 6,9% (Desember 2022). 

Reksa Dana Obligasi (RDO) terimbas positif dan masih menjadi aset dengan imbal hasil paling unggul dibandingkan dengan jenis reksa dana lainnya. 

Selain informasi di atas, Anda juga bisa berkonsultasi langsung dengan Wealth Specialist yang didedikasikan khusus untuk nasabah Bibit Premium. Anda bisa secara langsung berbincang seputar pengelolaan, pengembangan aset, hingga perencanaan pensiun dan tujuan keuangan lainnya bersama Wealth Specialist!