Selama Agustus 2020, salah satu indeks global, S&P 500, melanjutkan kenaikan sebesar 3.8% dari awal Agustus hingga penutupan di minggu lalu. Indeks ini menyentuh titik tertingginya di Februari 2020 sebelum COVID-19 meluas. Hal serupa terjadi pada indeks negara lainnya, termasuk IHSG. Bagaimana kondisi kedepan? Apakah ada penurunan pasar lagi?
Sampai Kapan Pasar Saham Global Terus Naik?
Melihat ekonomi belum pulih, beberapa investor mulai khawatir, apakah kenaikan pasar terlalu tinggi dan akan crash lagi. Salah satu indikator pengukur adalah rasio GDP ke Indeks. Grafik di bawah digunakan oleh Warren Buffet dalam melihat kondisi pasar.
Grafik tersebut membandingkan antara total GDP Amerika dengan kapitalisasi perusahaan yang terdaftar dalam bursa S&P 500. Dengan rasio mencapai 175%, harga pasar saat ini sudah 1,75x lebih besar dibanding nilai ekonomi Amerika. Ini menandakan pasar yang sudah terlalu mahal.
Rasio di atas 100% seperti saat ini pernah terjadi pada 1999 dimana terjadi dot com bubble di Amerika diikuti market crash. Melihat rasio indikator yang tinggi, maka penurunan pasar bisa saja terjadi lagi pada S&P 500 dan tentu hal ini akan berefek pada pasar saham negara lainnya termasuk Indonesia.
Kenaikan Harga Emas Menunjukkan Meningkatnya Ketidakpastian
Melihat pemulihan ekonomi masih terancam oleh peningkatan jumlah kasus COVID-19, banyak investor lebih memilih aset stabil atau sering disebut safe haven, salah satunya emas yang harganya sudah naik tinggi selama pandemi. Kenaikan harga emas akibat permintaan meningkat dari investor untuk melindungi nilai uang mereka selama resesi global berlangsung.
Hal ini dikonfirmasi investasi yang baru saja dilakukan Warren Buffet di semester I 2020. Melalui perusahaannya, Berkshire Hathaway, Buffet telah membeli perusahaan tambang emas, Barrick Gold Corporation dengan nilai mencapai USD 563,55 juta. Bahkan, kepemilikan Berkshire mencapai lebih dari 10%.
Di Indonesia, kenaikan harga emas sudah sering kita dengar. Harga emas yang dijual PT. Aneka Tambang, Tbk. juga mengalami kenaikan signifikan dari sekitar 770 Ribu/gram di awal 2020 menjadi di atas 1 juta/gram. Harga emas akhirnya jadi acuan investor, selama harganya masih naik artinya kepercayaan investor global terhadap aset berisiko seperti pasar saham masih belum pulih sepenuhnya.
Kelanjutan Pemulihan Ekonomi Indonesia
Sekilas kita bisa melihat pemulihan ekonomi Indonesia setelah pelonggaran PSBB beberapa waktu lalu. Index PMI (Purchasing Manufacture Index) Indonesia pada Juli sudah ada di angka 46,9 yang meningkat dari di bawah 40 pada Juni. Meski angka tersebut masih tergolong kontraksi, namun ini menandakan aktivitas produksi sudah mulai naik.
Yang masih tidak bisa diketahui adalah apakah peningkatan aktivitas produksi dibarengi meningkatnya konsumsi masyarakat, karena selama masa pandemi, penghasilan banyak orang menurun. Satu-satunya yang bisa menolong adalah bantuan sosial pemerintah, yang serapan anggarannya masih 46% hingga saat ini.
Satu hal lain yang bisa memicu optimisme investor adalah keberlangsungan vaksin di Indonesia. Saat ini ada kesepakatan antara Indonesia dan Cina, bahwa Cina akan menyediakan 50 juta dosis vaksin COVID-19 dari November 2020 - Maret 2021. Meski demikian, digunakan atau tidaknya vaksin masih bergantung dari uji coba tahap 3 yang dilakukan oleh Biofarma di Indonesia. Saat ini, kita masih menunggu hasilnya.
Adanya kemajuan penemuan vaksin memang memberikan optimisme investor pasar, meski tidak ada yang tahu keberhasilan kedepannya. Kita boleh saja ikut optimis dengan memiliki instrumen seperti reksadana saham.
Namun, karena risiko kejatuhan pasar masih ada, sebaiknya prioritaskan instrumen yang lebih stabil seperti reksadana obligasi & pasar uang. Cara termudah adalah tetap menggunakan Robo Advisor Bibit, sehingga kamu bisa dapat kombinasi yang pas dari setiap instrumen agar investasimu stabil di tengah ketidakpastian.