Isu resesi global terus menjadi sorotan publik beberapa waktu terakhir. Sebagian masyarakat mulai panik dan takut ramalan sejumlah lembaga internasional menjadi kenyataan. Sebelum kamu ikutan panik. Pahami dulu apa itu resesi dan apakah Indonesia cukup tangguh menghadapinya?
Apa Itu Resesi?
Suatu negara disebut mengalami resesi apabila pertumbuhan ekonominya terkontraksi atau minus selama dua kuartal atau 6 bulan berturut-turut. Salah satu penyebabnya adalah inflasi tinggi.
Inflasi di sejumlah negara melonjak karena tensi antara Rusia-Ukraina. Hal itu mengganggu rantai pasok global atau pengiriman barang antar negara. Sehingga harga komoditas pun melonjak dan inflasi di sejumlah negara naik drastis. Hal ini sudah terjadi di Amerika Serikat (AS) dan Eropa.
Inflasi di Amerika Serikat tembus 8,2% YoY per September 2022. Begitu juga dengan wilayah Eropa yang inflasinya menyentuh 10% YoY per September 2022. Dilansir dari CNBCIndonesia.com, ini menjadi inflasi tertinggi sepanjang sejarah di Eropa. Inflasi terjadi karena kenaikan harga energi dan bahan pangan.
Hal ini membuat Lembaga Moneter Internasional (IMF) menurunkan (proyeksi) pertumbuhan ekonomi global dari 2,9% menjadi 2,7% pada 2023. Sedangkan IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi di negara-negara besar seperti Amerika Serikat hanya 1% dan Uni Eropa hanya 0,3% di 2023 nanti.
Bagaimana dengan Indonesia?
Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi Indonesia juga terus meningkat dan tembus 5,95% YoY per September 2022. Namun, angka itu masih lebih rendah dari negara lain yang sudah tembus lebih dari 10%.
Di tengah fluktuasi pergerakan ekonomi saat ini, IMF tetap mempertahankan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,2% pada 2022 dan 5% di 2023 mendatang. Artinya ekonomi Indonesia berpotensi tumbuh lebih tinggi dibandingkan Amerika Serikat dan Eropa.
Resesi Global, Indonesia Ikut Resesi Juga?
Isu resesi bisa menjadi hal yang menakutkan. Tapi perlu dipahami kalau ini bukan kali pertama resesi terjadi. Di Indonesia, resesi juga sempat terjadi saat awal masa pandemi di tahun 2020.
Dari gambar di atas, dapat terlihat bahwa pertumbuhan ekonomi sempat minus pada masa pandemi 2020, yang terparah hingga -5,32%. Hal ini menunjukkan bahwa di tengah krisis yang melanda berbagai negara saat pandemi, Indonesia pun juga terkena dampaknya.
Namun jika kita tarik garis waktu lebih panjang ke tahun 2008, saat itu juga terjadi krisis finansial global. Krisis pada 2008 ini disebabkan oleh krisis subprime mortgage karena gagal bayar yang terjadi di lembaga-lembaga keuangan besar Amerika Serikat. Subprime mortgage adalah kredit perumahan (KPR) yang diberikan kepada debitur dengan rekam jejak kredit yang buruk.
Hal tersebut ternyata memiliki efek domino kepada negara lain, seperti wilayah Eropa karena mempengaruhi likuiditas lembaga keuangan lain. Namun, di tengah situasi tersebut, Indonesia masih tetap menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang positif. Terbukti pada gambar di bawah ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2008 memang mengalami sedikit penurunan namun tidak sampai negatif dan tidak terjadi resesi dan kembali bertumbuh pasca krisis.
Kesimpulannya, tidak ada yang tahu pasti apakah Indonesia bisa bebas atau justru kembali jatuh ke jurang resesi tahun depan sebab situasi ekonomi selalu berubah. Namun daripada panik dengan hal yang belum pasti, lebih baik kita mempersiapkan finansial yang baik agar bisa menghadapi berbagai situasi ekonomi nanti.
3 Tips Investasi untuk Hadapi Ancaman Resesi
1. Defensive Mode: Berhemat dan Perbanyak Dana Darurat
Kita mulai dari strategi defensif atau pertahanan, yaitu dengan berhemat dan tambah porsi dana darurat. Kamu bisa coba kurangi pengeluaran yang mungkin belum kamu butuhkan saat ini. Contoh, tunda beli gadget baru karena yang kamu miliki sekarang masih dalam kondisi baik, mengurangi pengeluaran untuk hangout yang terlalu sering, dan memangkas jajan yang impulsif.
Kamu bisa alokasikan dana tersebut untuk menambah porsi dana darurat. Bahkan buat kamu yang belum sama sekali mengumpulkan dana darurat, inilah saatnya menyiapkan dana daruratmu sekarang juga.
Dengan memiliki dana darurat yang cukup, kamu bisa merasa lebih aman untuk menghadapi ketidakpastian dan juga hal-hal darurat yang tidak diinginkan. Contohnya seperti layoff atau Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Sehingga walaupun hal darurat terjadi, kamu sudah siap secara finansial untuk tetap bisa bertahan.
Kamu bisa mulai mengumpulkan hingga menyimpan dana darurat di instrumen keuangan yang mudah dicairkan (likuid), mudah diakses, dan rendah risiko. Salah satunya adalah Reksa Dana Pasar Uang (RDPU). Apalagi di Bibit ada produk reksa dana yang memiliki fasilitas Instant Redemption, di mana reksa dana bisa langsung dicairkan dalam hitungan detik langsung masuk ke rekeningmu. Selain itu, di RDPU kamu bisa mendapatkan potensi return lebih tinggi dibandingkan rekening bank biasa.
2. Diversifikasi Aset
Diversifikasi aset investasi merupakan sebuah cara untuk mengurangi risiko dengan mengalokasikan dana investasi ke beberapa instrumen. Istilahnya, “don't put your eggs in one basket”.
Dengan melakukan diversifikasi ke beberapa instrumen, maka ketika kinerja salah satu investasimu sedang menurun, investasi lainnya akan bisa membantu untuk menopang performa portofolio kamu. Dengan demikian, diversifikasi dapat mengurangi risiko kerugian yang terlalu besar. Misalnya, kamu bisa diversifikasi investasi di reksa dana pasar uang, reksa dana obligasi, Surat Berharga Negara, atau instrumen investasi lainnya.
3. Nabung Rutin ala Dollar Cost Averaging dan Berorientasi pada Investasi Jangka Panjang
Sering kali di situasi seperti ini, kita lebih fokus untuk membeli aset di harga paling murah (market timing). Padahal tidak ada yang bisa memprediksi pergerakan pasar dengan akurat 100%, sehingga market timing tentu sulit dilakukan. Tapi ada cara yang lebih mudah dan praktis untuk terus berinvestasi yaitu dengan Dollar Cost Averaging (DCA) alias nabung rutin.
DCA adalah strategi dengan cara menginvestasikan sejumlah uang dengan nominal yang sama secara rutin. Bisa harian, mingguan atau bulanan. Dengan melakukan DCA atau nabung rutin, kamu bisa lebih konsisten untuk berinvestasi tanpa perlu mengkhawatirkan naik turun harga pasar dan terlepas dari keputusan emosional. Pada akhirnya, kamu akan mendapatkan harga beli rata-rata di tengah kenaikan dan penurunan harga, serta berpotensi memperoleh imbal hasil yang optimal.
Jika kita lihat data historis, meskipun pergerakan pasar naik-turun, namun dalam jangka panjang tetap menunjukkan kenaikan. Perhatikan grafik berikut ini!
Gambar di atas memperlihatkan bahwa market sudah mengalami berbagai macam siklus dan sangat berfluktuasi dalam 20 tahun terakhir. Namun jika dilihat dalam jangka panjang, nyatanya pergerakan pasar tetap mengalami kenaikan. Jadi, jika kamu melakukan DCA secara rutin dan berorientasi pada investasi jangka panjang, kamu berpotensi untuk memperoleh keuntungan yang optimal. Yang penting terus konsisten untuk nabung rutin dan fokus pada tujuan keuanganmu!