Dalam 1 minggu terakhir, baik bursa global (S&P 500) maupun domestik (IHSG), masih mengalami penguatan. Namun, investor asing masih melakukan penjualan bersih pada pasar domestik sebanyak lebih dari 2,5 Triliun Rupiah dalam sepekan. Apakah ini akan mengancam prospek pemulihan pasar kedepannya? Masih adakah peluang investasi di tengah kondisi ini?
Semua Masih Bergantung pada Stimulus Pemerintah
Sebagai negara dengan perekonomian terbesar dunia, Amerika Serikat (AS) berperan penting dalam pemulihan ekonomi global. Saat ini, kondisi wabah COVID-19 disana masih belum membaik secara signifikan.
Data Index Consumer Confidence (keyakinan konsumen) AS pada Agustus yang baru dirilis berada di 84.8, ini turun dari 91.7 di Juli. Angka menunjukan kondisi bisnis dan lapangan kerja pada sebulan terakhir semakin memburuk.
Akibatnya, perekonomian AS sangat bergantung pada stimulus pemerintah. Saat ini, belum ada kesepakatan internal pemerintah AS mengenai besaran stimulus ronde kedua. Adanya kemungkinan besaran stimulus mengecil dan masih tingginya tingkat pengangguran bisa membuat ekonomi AS kembali terpuruk, demikian juga pasar S&P 500.
Peluang Bagi Negara Berkembang
Chairman Federal Reserve (The Fed), Jerome Powell, pada Kamis minggu lalu mengumumkan, The Fed menargetkan inflasi di atas 2% untuk AS. Akibatnya, hampir dipastikan The Fed terus menjaga suku bunga rendah di AS dalam waktu cukup lama.
Suku bunga rendah AS membuat imbal hasil Obligasi yang diterbitkan pemerintahnya menjadi lebih rendah dibanding obligasi negara Asia khususnya negara berkembang. Ini berarti, investor global cenderung memindahkan uangnya ke pasar negara berkembang demi mendapatkan keuntungan lebih besar.
Dikutip dari Bloomberg, Indonesia termasuk yang paling menarik secara imbal hasil obligasi pemerintah pada pasar Asia. Peluang adanya aliran dana asing bisa memperkuat pasar obligasi di Indonesia dan menguntungkan bagi investor yang berinvestasi pada instrumen obligasi.
Mewaspadai Kemungkinan Resesi Domestik di Kuartal 3
Pada konferensi pers APBN minggu lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa ekonomi Indonesia kuartal III diprediksi bertumbuh 0 hingga -2%. Harapannya, jangan sampai menyentuh angka negatif. Namun itu semua sangat dipengaruhi investasi dan konsumsi masyarakat.
Salah satu pendukung konsumsi masyarakat adalah kredit perbankan. Menurut Direktur Utama BRI, pada semester II 2020, bank tidak mengalami masalah likuiditas, melainkan permintaan kredit masih rendah meski dana simpanan masyarakat meningkat di perbankan. Pertumbuhan dana simpanan mencapai 12%, tapi kredit hanya tumbuh 4%. Dari sini terlihat kalau pemulihan ekonomi berjalan secara perlahan.
Melihat fakta ekonomi domestik tersebut, dapat disimpulkan bahwa kenaikan harga pasar modal domestik (IHSG) tidak diimbangi dengan penguatan riil ekonomi domestik. Posisi asing di pasar yang makin kecil membuat kenaikan pasar lebih dominan akibat investor domestik juga. Artinya, bagi investor yang ingin mengetahui arah gerak pasar kedepannya perlu mengikuti sentimen yang berpengaruh terhadap investor domestik.
Adanya kemungkinan resesi bukan berarti harus jadi penghalang untuk tetap berinvestasi asalkan investor tahu mengelola resikonya. Dengan menggunakan Robo Advisor Bibit, investor bisa melakukan diversifikasi otomatis yang akan meminimalisir risiko investasi. Dengan begitu, bagaimanapun kondisi pasar, investasi bisa tetap tenang hingga tujuan akhir tercapai.