Banyak konsep di dunia investasi yang perlu dipahami untuk memaksimalkan keuntungan. Bagi seorang investor baru, hal ini mungkin bikin bingung sendiri. Sebagai contoh apa yang akan kita bahas dalam artikel ini, yaitu active investing.
Kali ini kita akan mengenal lebih dekat dengan strategi active investing atau investasi aktif. Apa Itu Investasi Aktif?
Investasi aktif mengacu pada strategi beli dan jual suatu instrumen aset dalam waktu relatif singkat. Dalam active investing, investor secara aktif membeli produk investasi dan memantau pergerakan instrumen tersebut secara intensif. Tujuannya, mencari timing yang tepat demi meraih keuntungan.
Dari pengertian tersebut, active investing terkesan dekat dengan aktivitas trading. Prinsip buy and hold tidak berlaku dalam strategi ini. Dilansir Forbes, active investing fokus pada tujuan mencari keuntungan jangka pendek dengan memanfaatkan volatilitas harga yang cepat.
Strategi ini berisiko tinggi karena: Pertama, seperti kita tahu pasar bursa selalu berubah dan tak dapat diprediksi, sehingga bisa membuat instrumen investasi yang kamu pilih untuk active investing mengalami penurunan (high loss). Kedua, bagi investor yang baru active investing kemungkinan besar akan menghabiskan waktu karena kamu harus memantau pasar tanpa henti.
Alasan Active Investing Tidak Cocok pada Reksa dana
Berbeda dengan trading saham, strategi active investing kurang cocok untuk diaplikasikan ketika investasi reksa dana. Terkait ini telah dibahas dalam artikel Apakah Bisa Trading di Reksa Dana? Ini Alasannya! Ada dua alasan mengapa strategi active investing kurang cocok untuk reksa dana.
Cut-off Time
Penutupan transaksi reksa dana (cut-off time) ini biasanya pukul 13.00 WIB setiap hari bursa (Senin–Jumat) sesuai dengan ketentuan bank kustodian. Jadi, ketika kamu menjual reksa dana, ada dua kemungkinan harga NAB (Nilai Aset Bersih) atau UP (Unit Penyertaan) yang bisa muncul.
Mendapatkan harga NAB/UP sebelum cut-off time jika kamu melakukan penjualan sebelum pukul 13.00 WIB.
Mendapatkan harga NAB/UP setelah cut-off time apabila kamu menjual reksa dana setelah pukul 13.00 WIB.
Sementara dalam saham, kita akan langsung bisa melihat harga penawaran (bid) dan pembelian (offer) secara langsung (real-time) sehingga membuat trader bisa langsung mengetahui berapa harga perolehan atas saham yang dibeli ataupun harga jual atas saham yang dilepas. Perbedaan inilah yang membuat trading reksa dana menjadi kurang relevan untuk dilakukan.
Baca Juga: Apakah Bisa Trading di Reksa Dana? Ini Alasannya!
Non-live Price
Harga saham berubah sewaktu-waktu dalam hitungan menit dan detik. Tidak mengherankan jika investasi ini menantangmu untuk selalu memantau live price atau pergerakan harga saham.
Inilah mengapa strategi active investing cocok buat saham. Karena trader bisa melakukan jual-beli setiap saat, berdasarkan timing ketika harga turun maka saham dibeli. Sebaliknya, jika harga naik, maka ia dijual.
Di lain sisi, harga NAB/UP reksa dana tidak bersifat real time (non-live price) sehingga kamu tak perlu memantau pergerakan atau dinamika NAB-nya. Hal ini terjadi karena reksa dana merupakan paketan investasi yang asetnya tersebar di berbagai jenis instrumen.
Sifat reksa dana yang tidak real time sebenarnya menjadi keuntungan tersendiri bagi investor. Pasalnya, investor tak perlu repot-repot lagi menganalisis dan memantau pasar karena tugas tersebut sudah dilakukan oleh manajer investasi.
“Active Investing” untuk Reksa Dana
Strategi active investing memang tidak cocok untuk reksa dana. Namun, investasi aktif tetap dapat dilakukan oleh investor dengan makna yang lebih bijak. Artinya, investasi secara aktif dilakukan dengan menggunakan dua strategi investasi berikut:
Dollar Cost Averaging (DCA)
Strategi pertama ini sederhana yaitu nabung atau investasi rutin tanpa memedulikan kenaikan ataupun penurunan nilai investasi dalam jangka pendek. DCA sangat efektif untuk investasi tujuan jangka panjang, di mana instrumen investasi akan terus berkembang seiring berjalannya waktu.
Kelebihan dari DCA, yaitu pengambilan keputusan investasi lebih mudah dan terhindar dari unsur emosional. DCA bisa dimulai dengan nominal sesuai kemampuan tapi wajib konsisten. Contohnya, 20 ribu perhari, 100 ribu per minggu, atau Rp1 juta per bulan di aplikasi yang memudahkan kamu investasi reksa dana seperti Bibit.
Investasi reksa dana dengan nominal kecil per hari mungkin terdengar kurang powerful. Namun kamu akan kaget dengan potensi keuntungan yang didapatkan selama setahun, tiga tahun, sampai lima tahun jika investasinya rutin dilakukan. Hal ini dikarenakan ada efek compounding yang bekerja dengan optimal dalam jangka panjang. Apalagi, investasi aktif reksa dana secara rutin kini lebih mudah menggunakan Bibit. Bahkan, investasi reksa dana di Bibit dapat dilakukan dengan metode auto-debet dan pencairan instan melalui Bank Jago.
Lump Sum
Strategi lump sum kebalikan dari strategi DCA, yaitu langsung menginvestasikannya seluruh dana investasi ke produk reksa dana. Misalnya, saat dapat bonus tahunan atau THR dengan jumlah cukup besar, kamu menyetor dana dan menunggu dana berkembang dari waktu ke waktu.
Kelebihan lump sum adalah potensi keuntungan yang lebih besar. Pasalnya dengan strategi ini harga perolehan bisa jadi lebih baik, khususnya ketika investor melakukan pembelian di saat koreksi pasar terjadi.
Jadi strategi mana yang biasanya kamu lakukan? Atau malah kombinasi keduanya?
Baca Juga: Lebih Cuan Mana, Investasi di SBR012 Vs Deposito Bank?
Pada dasarnya semua strategi investasi itu tak ada yang salah termasuk active investing. Hanya saja, sebuah strategi tak selalu cocok untuk diterapkan ke semua jenis aset investasi lantaran karakteristik yang berbeda satu sama lain. Jadi, ketika mau investasi reksa dana, maka strategi DCA dan lump sum bersifat lebih relevan Selain itu, kamu juga tetap bisa aktif berinvestasi rutin setiap hari, minggu, atau bulan dalam reksa dana dengan memanfaatkan fitur Nabung Rutin di aplikasi Bibit pakai autodebit Bank Jago.
Writer: Tim SEO